A.
Latar
Belakang Munculnya Pemikiran dan Berdirinya
HMI
“Sesungguhnya,
tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan kehidupan Lafran
Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mulabuka lahirnya
HMI kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya.” (Media, No.7 Th. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957,h. 32).
Dengan ungkapan ini jelaslah hubungan Lafran Pane
dengan HMI tidak bisa dipisahkan. Latar belakang pemikiran Lafran Pane untuk
mendirikan HMI, adalah juga identik dengan latar belakang munculnya pemikiran
HMI. Dengan demikian memahami pemikiran Lafran Pane, akan senantiasa terdapat
proses komunikasi dan ekspresi dengan lingkungannya, yaitu negara Indonesia
yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, dengan segala realitas dan totalitasnya. Pemikiran
Lafran tidak bisa dipahami
tanpa meletakkannya dalam suatu proses sejarah atau tradisi panjang yang
melingkupinya.
Sesuai dengan konteksnya, latar belakang munculnya
pemikiran HMI adalah:
1.
Penjajahan Belanda atas Indonesia dan tuntutan perang kemerdekaan
2.
Kesenjangan dan kejumudan umat Islam dalam pengetahuan, pemahaman dan penghayatan serta pengamalan
ajaran Islam
3. Kebutuhan akan
pemahaman, penghayatan keagamaan
4. Munculnya polarisasi politik
5.
Perkembangan paham dan ajaran komunis dikalangan
Masyarakat dan Mahasiswa
6. Kedudukan Perguruan
Tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis
7. Kemajemukan bangsa Indonesia
8. Tuntutan modernisasi
dan tantangan masa depan.
Menangkap realitas historis dan berbagai persoalan dan
perkembangan yang mengikutinya, tampilah Lafran Pane seorang mahasiswa yang sejak menjadi mahasiswa
aktif mengamati dan memikirkan secara seksama perkembangan sosial, politik, dan
budaya di tanah air, mengangkat kedelapan faktor di atas mejadi semangat
spiritual. Idealisme ini diangkat menjadi suatu yang empiris dan pemikiran yang memiliki daya dukung konstruktif,
guna merespon berbagai persoalan yang dihadapi bangsa saat itu.
Setelah berulang kali mencoba mengadakan pembicaraan
yang selalu gagal karena mendapat
penentangan dari beberapa organisasi mahasiswa. Akhirnya, para hari Rabu Pon
1878, tanggal 14 Rabiul Awwal 1366 H bertepatan 5 Februari 1947 secara resmi dideklarasikan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) oleh Lafran Pane bersama 14 orang
laninnya yaitu: Kartono Zarkasy (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti
Zainah (istri Dahlan Husein, Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri
Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, Singapura), Soewali (Jember), Yusdi Gozali
(Semarang, juga pendiri PII), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta),
Marwan (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), Bidron Hadi
(Kauman-Yogyakarta), Zulkarnaen (Bengkulu), dan Mansyur.
Dan dengan dua semangat atau dua tujuan
pertama didirikannya HMI adalah semangat Keindonesiaan dan
Keislaman yaitu, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi
derajat rakyat Indonesia, kedua menegakkan dan mengembangkan ajaran
agama Islam. Dua tujuan ini selalu menyemai dalam semangat kader
HMI baik dalam gagasan maupun tindakan.
Berdasarkan penelusuran dan penelitian sejarah, maka
Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor menetapkan Lafran Pane sebagai pemrakarsa
berdirinya HMI, dan disebut sebagai pendiri HMI.
Lafran Pane adalah anak keenam dari Sutan Pangurabaan Pane, lahir di Padang
Sidempuan, 5 Februari 1922, pendidikan Lafran Pane tidak berjalan ―normal‖ dan ―lurus‖.
Lafran
Pane
terinspirasi dari gerakan
kelompok pelajar Islam di era Hindia
Belanda yaitu Jong
Islamieten Bond (JIB) dan Student
Islamic Studenten (SIS). Lafran
mengalami perubahan kejiwaan yang radikal sehingga mendorong dirinya untuk
mencari hakikat hidup sebenarnya. Desember 1945 Lafran Pane pindah ke Yogyakarta, karena
Sekolah Tinggi Islam (STI) tempat
ia menimba ilmu pindah dari
Jakarta ke Yogyakarta. Pendidikan agama Islam
yang lebih intensif ia peroleh
dari dosen-dosen STI,
mengubur masa lampau
yang kelam.
Bagi Lafran Pane, Islam merupakan satu-satunya pedoman
hidup yang sempurna, karena Islam menjadikan manusia sejahtera dan selamat di
dunia dan akhirat. Pada tahun 1948, Lafran Pane pindah studi ke Akademi Ilmu
Politik (AIP). Saat Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada dan Fakultas Kedokteran
di Klaten, serta AIP Yogyakarta dinegerikan pada tanggal 19 Desember 1949
menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM), secara otomatis Lafran Pane termasuk
mahasiswa pertama UGM. Setelah bergabung menjadi UGM, AIP berubah menjadi Fakultas Hukum Ekonomi Sosial Politik, dan
Lafran Pane menjadi sarjana pertama
dalam ilmu politik
dari fakultas tersebut pada tanggal 26 Januari 1953.
Dalam perjalanan HMI selama setengah abad lebih, telah
menjalani 11 fase.
1. Fase
Konsolidasi Spiritual dan Proses Berdirinya HMI (tahun 1946)
Bermula dari latar belakang munculnya pemikiran dan
berdirinya HMI serta kondisi obyektif yang mendorongnya,
maka rintisan untuk mendirikan HMI muncul di bulan November 1946. Permasalahan
yang dapat diangkat dari latar belakang berdirinya HMI, merupakan suatu
kenyataan yang harus diantisipasi dan dijawab secara cepat dan konkrit dan
menunjukkan apa sebenarnya Islam itu. Maka pembaharuan pemikiran di
kalangan umat Islam bangsa Indonesia
suatu keniscayaan.
2. Fase
Berdiri dan Pengokohan (5 Februari – 30 November 1947)
Selama lebih kurang 9 bulan, reaksi-reaksi terhadap
HMI barulah berakhir. Masa 9 bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai
reaksi dan tantangan silih berganti, yang semuanya itu untuk mengokohkan
eksistensi HMI, sehingga dapat berdiri tegar dan kokoh. Maka diadakanlah
berbagai aktivitas untuk popularisasi organisasi dengan mengadakan
ceramah-ceramah ilmiah, rekreasi malam-malam kesenian.
1. Di
bidang organisasi, HMI mulai mendirikan cabang- cabang baru seperti Klaten,
Solo dan Yogyakarta. Pengurus HMI bentukan 5 Februari 1947 otomatis menjadi
Pengurus Besar (PB) HMI pertama dan merangkap menjadi Pengurus HMI Cabang
Yogyakarta I. Hari Rabu Pon 1878, tanggal
14 RA 1366 / 5 Februari 1947, menetapkan berdirinya organisasi Himpunan Mahasiswa Islam, disingkat HMI
2. Mengesahkan Anggara Dasar HMI. Adapun Anggaran Rumah Tangga dibuat kemudian
3. Membentuk Pengurus
HMI :
Ketua : Lafran
Pane (Prof. Drs. Alm.) Wakil Ketua : Asmin Nasution (Drs.)
Penulis I : Anton
Timur Jailani (Prof. H. – MA)
Penulis II :
Karnoto Zarkasyi (Kapten AD
– BA)
Bendahara I :
Dahlan Husein
Bendahara II : Maisaroh Hilal
Anggota : Suwali, Yusdi Ghozali (SH), Mansyur
6. Fase
Kebangkitan HMI sebagai Pejuang Orde Baru dan Pelopor Kebangkitan Angkatan 66 (1966-1968)
10.
Fase Tantangan II (2000-sekarang)
11.
Fase Kebangkitan Kembali (2006-sekarang)
Ada kesan bahwa keanggotaan HMI hanya untuk mahasiswa
STI. Untuk menghilangkan anggapan
yang keliru itu, tanggal 22 agustus 1947, PB
HMI diresuffle. Ketua Lafran Pane digantikan oleh H.M. Mintaredja dari Fakultas
Hukum BPT GM, sedang Lafran Pane menjadi wakil ketua merangkap Ketua HMI Cabang
Yogyakarta. Sejak itu mahasiswa BPT GM, STT mulai masuk dan berbondong-bondong
menjadi anggota HMI. Di Yogyakarta tanggal 30 November 1947 diadakan Kongres I HMI.
3.
Fase Perjuangan Bersenjata dan Perang Kemerdekaan, dan
Menghadapi Pengkhianatan dan Pemberontakan PKI (1947- 1949)
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal
berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun ke
gelanggang medan pertempuran melawan Belanda. Tepat saat Agresi Militer Belanda I 21 April 1947 sekretariat HMI di JL.Setyodingrat terkena hantaman
senjata Belanda oleh karena itu anggota HMI membantu pemerintah baik langsung
memegang senjata bedil dan bambu runcing sebagai staf penerangan, penghubung, dll.
Untuk menghadapi pemberontakan Madiun 18 September
1948, Ketua PMI/Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa
(CM), dengan Komandan Hartono, Wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu
pemerintah menumpas pemberontakan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota
CM ke gunung- gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak
itulah dendam PKI terhadap HMI tertanam dan terus berlanjut sampai puncaknya
pada tahun 1964-1965 yaitu gerakan penggayangan terhadap HMI menjelang
meletusnya Gestapu/PKI 1965.
Pada fase ini berlangsung peringatan Dies Natalies
pertama HMI di Bangsal Kepatihan tanggal 6 Februari 1948, Panglima Angkatan
Perang Republik Indonesia Jenderal Sudirman memberi sambutan pada peringatan
tersebut atas nama Pemerintah RI. Jenderal sudirman selain mengartikan HMI
sebagai Himpunan Mahasiswa Islam, HMI juga diartikan sebagai Harapan Masyakat
Indonesia. Karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, HMI juga diartikan
sebagai Harapan Masyarakat Islam Indonesia.
Pada fase ini juga berlangsung Kongres Muslim
Indonesia II di Yogyakarta tanggal 20 sampai dengan 25 Desember 1949. Kongres
itu dihadiri oleh 185 organisasi, alim ulama dan intelegensia seluruh
Indonesia.
Di antara tujuh dari keputusannya di bidang organisasi salah satu
keputusannya adalah memutuskan bahwa: Hanya satu organisasi mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang
bercabang di tiap-tiap kota yang ada sekolah
tinggi.
4.
Fase
Pembinaan dan Pengembangan Organisasi (1950-1963)
Selama anggota HMI banyak
yang terjun ke gelanggang medan pertempuran
membantu pemerintah mengusir penjajah, selama
itu pula pembinaan organisasi
HMI terabaikan. Namun hal itu dilaksanakan dengan sadar, karena ini semua untuk
merealisir tujuan HMI sendiri, serta dwitugasnya, yakni tugas agamanya
dan tugas bangsanya. Maka dengan adanya pengakuan kedaulatan rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berminat melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta.Sejak tahun 1950, dilaksanakanlah usaha-usaha
konsolidasi organisasi sebagai masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB
HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
Diantara usaha-usaha yang
dilaksanakan selama 13 tahun itu antara lain:
a. Pembentukan
cabang-cabang baru,
b. Menerbitkan majalah
sejak 1 Agustus
1954, sebelumnya terbit
Criterium, Cerdas dan tahun 1959 menerbitkan majalah Media,
c.
7 kali kongres,
d.
Pengesahan atribut HMI seperti lambing, bendera,
muts, hymne HMI,
e.
Merumuskan tafsir azas HMI,
f.
Pengesahan kepribadian HMI,
g.
Pembentukan Badan Koordinasi (Badko),
h.
Menentukan metode Training HMI,
i.
Pembentukan lembaga-lembaga HMI di Bidang ekstern,
j.
Pendayagunaan
PPMI,
k.
Menghadapi Pemilu 1955,
l.
Penegasan Independensi HMI,
m. Mendesak
pemerintah supaya mengeluarkan Undang-undang Perguruan Tinggi, tuntutan agar
pendidikan agama sejak dari SR sampai Perguruan
Tinggi,
n.
Mengeluarkan konsep peran agama dalam
pembangunan, dan lain-lain.
Selain masalah internal, muncul pula persoalan ekstern
yang sangat menonjol. Justru karena keberhasilan HMI melaksanakan konsolidasi
organisasi ada golongan yang iri dan tidak senang kepada HMI yaitu PKI.
Tidak dibubarkan dan dilarangnya PKI akibatnya
pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, PKI otomatis mempunyai kesempatan untuk
bangkit kembali. Tanggal 21 Februari tahun 1957, Presiden
Soekarno mengumumkan
konsepsinya supaya kabinet berkaki empat dengan unsur PNI, Masyumi, NU dan PKI (sebagai empat
besar pemenang pemilu
1955). Berikutnya di Moskow
tanggal 19 November 1957 dicetuskanlah Manifesto
Moscow, yaitu satu program untuk mengkomuniskan Indonesia. Akibat itu
semua, PKI tampil sebagai partai pemerintah. Masyumi, akibat penentangan terhadap kebijakan
politik Presiden Soekarno, dengan Manipol Usdeknya, dengan Keputusan Presiden
nomor 200: tanggal 17 Agustus tahun 1960 Masyumi dipaksa bubar. Untuk
menghadapi perkembangan politik, Kongres V HMI di Medan tanggal 24-31 Desember
1957 mengeluarkan dua sikap anatar lain:
a. Haram
hukumnya menganut ajaran dan paham komunis karena bertentangan dengan Islam,
b. Menuntut
Islam sebagai dasar Negara.
5. Fase
Tantangan I (1964-1965)
Dendam PKI terhadap HMI yang tertanam karena
keikutsertaan HMI dalam menumpas pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948,
menempatkan HMI sebagai organisasi yang harus bubar, karena dianggap sebagai
penghalang bagi tercapainya tujuan PKI. Untuk itu dilaksanakanlah berbagai
usaha untuk membubarkan HMI.
Sesuai hasil Kongres II Consetrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI) organisasi mahasiswa underbow
PKI di Salatiga, Juni 1961, untuk melekuidasi HMI. PKI, CGMI dan organisasi
lainnya yang se-ideologi mulai melakukan gerakan secara terbuka untuk
membubarkan HMI. Gerakan pembubaran HMI disokong seluruh simpatisan dari tiga
partai besar yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Indonesia (PARTINDO)
dan Partai nasional Indonesia (PNI) dan seluruh underbow ketiga partai tersebut yang semuanya berjumlah 42 partai. Untuk membubarkan HMI sekitar Maret 1965,
dibentuklah Panitia Aksi Pembubaran HMI di Jakarta yang terdiri dari CGMI,
GMNI, IPPI, GRMINDO, GMD, MMI, Pemuda Marhaenis, Pemuda Rakyat, Pemuda
Indonesia, PPI, dan APPI.
Menjawab tantangan ini, Generasi Muda Islam(GEMUIS)
yang terbentuk tahun 1964
membentuk Panitia Solidaritas Pembelaan HMI, yang terdiri dari unsur-
unsur pemuda, pelajar, mahasiswa Islam seluruh Indonesia. Bagi umat Islam HMI
merupakan taruhan terakhir yang harus dipertahankan setelah sebelumya Masyumi
dibubarkan. Kalau HMI sempat bubar, maka satu-persatu dari organisasi Islam akan terkena sapu pembubaran.
Namun gerakan pembubaran HMI ini gagal justru dipuncak
usaha- usaha pembubaran tersebut. Dalam acara penutupan Kongres CGMI tanggal 29
September 1965 di Istora Senayan. Meski PKI terus melakukan provokasi kepada Presiden Soekarno, seperti diungkapkan
DN.
Aidit, ‖kalau anggota CGMI tidak bisa membubarkan
HMI, anggota CGMI yang laki-laki lebih baik pakai kain sarung saja..... kalau
semua front sudah minta, Presiden akan membubarkan HMI.‖ Namun ternyata HMI tidak dibubarkan, bahkan dengan tegas Presiden Soekarno
mengungkapkan dalam pidatonya:
“Pemerintah mempunyai kebijakan untuk memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada kehidupan organisasi mahasiswa yang
revolusioner. Tapi kalau organisasi mahasiswa yang menyeleweng itu mejadi
kontra revolusi umpamanya HMI, aku sendiri yang akan membubarkannya. Demikian
pula kalau CGMI menyeleweng menjadi kontra revolusi juga akan kububarkan.” Antara lain karena gagal membubarkan HMI, maka PKI
sudah siap main kayu, main kekerasan. PKI takut didahului umat Islam untuk
merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah, maka meletuslah Pemberontakan
G30S/PKI 1965.
a. Tanggal 1 Oktober adalah
tugu pemisah antara
Orde Lama dan Orde Baru
b. Apa
yang disinyalir PKI, seandainya PKI gagal membubarkan HMI, HMI akan tampil
kedua kalinya menumpas pemberontakan PKI, benar-benar terjadi.c. Wakil
Ketua PB HMI Mar‘ie Muhammad tanggal 25 Oktober 1965 mengambil inisiatif
mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), sebagaimana yang dilakukan oleh Wakil Ketua PB HMI
Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM) untuk menghadapi pemberontakan
PKI di Madiun.
d. Tritura 10
Januari
1966: ―bubarkan
PKI,
reatol
kabinet, dan
turunkan harga
e.
Surat Perintah Sebelas Maret 1966
f.
Dibubarkan dan dilarangnya PKI tanggal 12 Maret 1966
g. Kabinet
Ampera terbentuk, HMI diajak hearing pembentukan kabinet, dan alumni HMI masuk
dalam kabinet.
7. Fase
Partisipasi HMI dalam Pembangunan (1969-sekarang)
Setelah Orde Baru mantap dan Pancasila serta UUD 1945
sudah dilaksanakan secara murni dan konsekuen, maka sejak tanggal 1 April 1969
dimulailah rencana pembangunan lima tahun dan sudah menyelesaikan pembangunan
25 tahun pertama, kemudian menyusul pembangunan 25 tahun kedua. Pembangunan
Indonesia menuju masyarakat adil dan
makmur bukanlah pekerjaan mudah, tetapi sebaliknya merupakan pembangunan
raksasa sebagai usaha kemanusiaan yang tidak habis- habisnya. Partisipasi segenap
warga negara sangat dibutuhkan. HMI pun sesuai dengan lima aspek pemikirannya,
telah memberikan sumbangan dan partisipasinya dalam pembangunan: (a)
partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan
dilaksanakannya pembangunan, (b) partisipasi dalam pemberian konsep-konsep
dalam berbagai aspek pemikiran; (partisipasi dalam bentuk langsung dari
pembangunan).
8. Fase
Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970-1998)
Selama kurun waktu Orde Lama (1959-1965) kebebasan
mengeluarkan pendapat baik yang bersifat akademis terlebih-lebih politik
terkekang dengan ketat. Suasana itu berubah tatkala Orde Baru muncul, walaupun
kebebasan hakiki belum diperoleh sebagaimana mestinya. Sama halnya di
penghujung pemerintahan Soeharto dianggap sebagai suatu perbedaan yang tidak
pada tempatnya. Namun walaupun demikian, kebebasan datang, kondisi terbatas
dapat dimanfaatkan, baik yang berkaitan dengan agama, akademik dan politik. Kejumudan dan suasana tertekan
pada masa Orde Lama mulai cair terutama dalam pembaharuan pemikiran
Islam yang dipandang sebagai suatu keharusan, sebagai jawaban terhadap berbagai
masalah untuk memenuhi kebutuhan kontemporer. Hal seperti itu muncul di
kalangan HMI dan mencapai puncaknya tahun 1970. Tatkala Nurcholis Madjid
menyampaikan ide pembaharuannya dengan topik Keharusan Pembaharuan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat.
Sikap itu diambil, karena apabila kondisi ini dibiarkan mengakibatkan
persoalan-persoalan umat yang terbelenggu selama ini, tidak akan memperoleh
jawaban yang efektif.
Sebagai konsekuensinya muncul pergolakan pemikiran
dalam tubuh HMI yang dalam berbagai substansi permasalahan timbul perbedaan
pendapat, penafsiran dan interpretasi. Hal itu tercuat dalam bentuk seperti
persoalan negara Islam, Islam Kaffah, sampai kepada penyesuaian
dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor: 8/1985 yang mengharuskan bahwa semua partai dan
organisasi harus berdasarkan Pancasila. Kongres ke-16 HMI di Padang tahun 1986, HMI
menyesuaikan diri dengan mengubah asas Islam dengan Pancasila. Akibat
penyesuaian ini beberapa orang anggota HMI membentuk MPO, akibatnya HMI pecah
menjadi dua yaitu HMI DIPO dan HMI MPO.
9. Fase
Reformasi (1998-2000)
Apabila dicermati dengan seksama secara historis HMI
sudah mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan beberapa
pandangan yang berbeda serta kritik maupun evaluasi secara langsung terhadap
pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1995.
Sesuai dengan kebijakan PB HMI, bahwa HMI tidak akan melakukan
tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontasi terhadap Pemerintah. HMI
melakukan dan menyampaikan kritik secara langsung yang bersifat konstruktif.
Koreksi dan kritik yang dimaksud, pertama, disampaikan M. Yahya Zaini Ketua Umum PB HMI Periode
1992-1995 ketika memberikan sambutan pada pembukaan Kongres ke-20 HMI di Istana
Negara Jakarta tanggal 21 Januari 1995. Koreksi itu antara lain, bahwa menurut
penilaian HMI, pembangunan ekonomi kurang diikuti dengan pembangunan politik.
Masih dirasakan tingkat perubahan di tingkat politik tidak sebanding dengan apa
yang terjadi di bidang ekonomi.
Dalam pembangunan politik
institusi-institusi politik atau badan-badan demokrasi belum maksimal memainkan fungsi dan peranannya.
Akibatnya aspirasi masyarakat masih sering tersumbat. Kondisi inilah yang
menutut kita, pemerintah dan masyarakat untuk terus menggelindingkan proses
demokratisasi dengan bingkai Pancasila tetapi ini harus diikuti dengan
pemberdayaan masyarakat. Dalam suasana demikian, proses saling kontrol akan
terbangun. Selain itu HMI melihat masih banyak distorsi dalam proses
pembangunan. Gejala penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, praktek
kolusi, korupsi, dan nepotisme adalah cerminan tidak berfungsinya sistem nilai
yang menjadi kontrol dan landasan etika dan bekerjannya suatu sistem.
Suara reformasi berikutnya dengan fokus yang lebih
tajam, lugas dihadapan Presiden Soeharto tatkala menghadiri dan memberikan
sambutan pada peringatan Ulang Tahun Emas 50 tahun HMI di Jakarta tanggal
20 Maret 1997 (satu tahun
sebelum reformasi), dimana Taufik
Hidayat Ketua Umum PB HMI
1995-1997 menegaskan; sekaligus sebagai jawaban atas kritik-kritik yang memandang HMI terlalu dekat dengan
kekuasaan. Bagi HMI, kekuasaan atau politik bukanlah wilayah yang haram,
politik justru mulia, apabila dijalankan di atas etika
dan bertujuan untuk menegakkan nilai- nilai kebenaran dan keadilan.
Lantaran itu, HMI akan mendukung kekuasaan pemerintah yang sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kebenaran dan
keadilan. Sebaliknya, HMI akan tampil ke depan menentang kekuasaan yang korup
dan menyeleweng. Ini telah dibuktikan ketika HMI terlibat aktif dalam merintis
dan menegakkan Orde Baru. Demikian juga pada saat sekarang ini dan masa-masa
mendatang. Kritik- kritik ini tidak boleh mengurangi rasa percaya diri HMI
untuk tetap melaksanakan amar ma‟ruf dan
nahi
munkar.
Pemikiran
dan reformasi selanjutnya
disampaikan Ketua Umum PB HMI
1997-1999 Anas Urbaningrum pada waktu peringatan Dies Natalis HMI ke-51
di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Februari 1998,
dengan judul Urgensi Reformasi Bagi Pembangunan Bangsa
yang Bermartabat. Pidato itu disampaikan 3 bulan sebelum lengsernya
Presiden Soeharto 21 Mei 1998. Suara dan tuntutan reformasi telah
dikumandangkan pula dalam berbagai aspek, yang disampaikan Anas Urbaningrum pada Peringatan Dies Natalis ke-52 di Auditorium Sapta Pesona Departemen Pariwisata Seni dan Budaya
Jakarta 5 Februari 1999, dengan judul Dari
HMI untuk Kebersamaan Bangsa Menuju Indonesia Baru. Tuntutan reformasi juga
disampaikan Ketua Umum PB HMI M. Fahruddin pada Peringatan Dies Natalis ke-53 HMI di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 5 Februari 2000
dengan judul Merajut Kekuasaan Oposisi
Membangun Demokrasi Membangun Peradaban Baru
Indonesia.
Fase tantangan ke-2 ini muncul justru setelah Orde
Reformasi berjalan dua tahun. Semestinya berdasarkan landasan-landasan atau
sikap- sikap yang telah diambil PB
HMI memasuki era
reformasi semestinya HMI
mengalami perkembangan yang signifikan menjawab berbagai tantangan sesuai
dengan perannya sebagai organisasi perjuangan, yang harus tampil sebagai pengambil inisiatif dalam memajukan
kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi justru sebaliknya
HMI secara umum mengalami kemunduran, yang secara intensif disinyalir Agussalim
Sitompul dalam bukunya 44 Indikator
Kemunduran HMI.
Jika pada fase tantangan I (1964-1965) HMI dihadapkan
kepada tantangan eksternal yaitu menghadapi PKI, pada fase tantangan
II ini HMI dihadapkan sekaligus pada dua tantangan
besar secara internal dan eksternal sekaligus.
Pertama,
tantangan internal, kajian tentang HMI saat ini menunjukkan, bahwa dalam
kehidupan sekarang dan mendatang, HMI ditantang:
a. Masalah
eksistensi dan keberadaan HMI, seperti menurunnya jumlah mahasiswa baru
masuk HMI, tidak terdapatnya HMI di berbagai perguruan
tinggi, institut, fakultas, akademi, program studi,
sebagai basis HMI.
b. Masalah
relevansi pemikiran-pemikiran HMI, untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang mendasar terhadap berbagai
masalah yang muncul yang dihadapi
bangsa Indonesia.
c. Masalah
peran HMI sebagai organisasi perjuangan yang sanggup tampil dalam barisan
terdepan sebagai avant grade, kader
pelopor bangsa dalam mengambil inisiatif untuk melakukan berbagai perubahan
yang sangat dibutuhkan masyarakat.
d. Masalah
efektifitas HMI untuk memecahkan masalah yang dihadapi bangsa, karena banyak
organisasi yang sejenis maupun yang lain yang dapat tampil lebih efektif dan
dapat mengambil inisiatif terdepan untuk memberi solusi terhadap problem yang
dihadapi bangsa Indonesia.
Sebagai jawabannya, menuntut perpecahan yang bersifat
teoritis dan praktis, akan tetapi semuanya bersifat konseptual, integratif,
inklusif. Sebab pendekatan yang tidak konseptual, parsial
dan ekslusif tidak akan melahirkan jawaban yang efektif. Untuk itu
dibutuhkan ide dan pemikiran dari anggota aktifitas kader, dan pengurus HMI di seluruh jenjang organisasi.
Kedua, tantangan
eksternal, berbagai tantangan eksternal juga dihadapkan kepada HMI yang
tidak skala besar dan rumitnya dari tantangan internal, antara lain:
a. Tantangan
menghadapi perubahan zaman yang jauh berbeda dari abad ke-20 dan yang muncul
pada abad ke-21 ini
b. Tantangan
terhadap peralihan generasi yang hidup dalam zaman dan situasi yang berada
dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang dijalani generasi muda bangsa.
c. Tantangan
untuk mempersiapkan kader-kader dan alumni HMI, yang akan menggantikan
alumni-alumni HMI yang saat ini menduduki berbagai posisi strategis dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena regenerasi atau pergantian pejabat-pejabat, suka tidak suka, mau tidak mau pasti terus berlangsung.
d. Tantangan
menghadapi bahaya abadi komunis.e. Tantangan
menghadapi golongan lain, yang mempunyai misi lain dari umat Islam dan bangsa Indonesia.
f.
Tantangan tentang adanya kerawanan aqidah.
g. Tantangan menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang terus berkembang tanpa henti.
h. Tantangan
menghadapi perubahan dan pembaharuan di segala aspek kehidupan manusia yang
terus berlangsung sesuai dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat kompetitif.
i.
Tantangan menghadapi masa depan yang belum dapat
diketahui bentuk dan coraknya.
j.
Kondisi umat Islam di Indonesia yang dalam
kondisi belum bersatu.
k. Kondisi
dan keadaan Perguruan Tinggi serta dunia kemahasiswaan, kepemudaan, yang penuh
dengan berbagai persoalan dan problematika yang sangat kompleks.
Pada fase tantangan II ini, nampaknya HMI semakin
memudar dan mundur yang telah berlangsung 25 tahun sejak tahun 1980-2005.HMI
tidak mampu bangkit secara signifikan, bahkan
dalam dua periode
terakhir PB HMI mengalami perpecahan.Karena itu,
menghadapi tantangan tersebut, HMI dengan segenap aparatnya harus mampu
menghadapinya dengan penuh semangat dan militansi yang tinggi. Apakah HMI mampu
menghadapi tantangan itu, sangat ditentukan oleh pemegang kendali organisasi
sejak dari PB HMI, Pengurus Badko, Cabang, Korkom, Komisariat, Lembaga- LembagaKekaryaan, serta segenap anggota HMI, maupun alumninya yang tergabung dalam
KAHMI sebagai penerus, pelanjut serta penyempurna mission sacre HMI. Peralihan zaman, peralihan generasi, saat ini
menentukan bagi eksistensi HMI di masa mendatang.
Gelombang kritik terhadap HMI tentang kemundurannya,
telah menghasilkan dua umpan balik.Pertama,
telah muncul kesadaran individual dan kolektif di kalangan anggota,
aktivis, kader, bahkan alumni HMI serta pengurus sejak dari Komisariat sampai
PB HMI, bahwa HMI sedang mengalami kemunduran.Kedua, selanjutnya dari kesadaran itu muncul pula kesadaran baru,
baik secara individual dan kolektif di kalangan anggota, aktivis, kader,
alumni, dan pengurus bahwa dalam tubuh HMI mutlak dilakukan perubahan dan
pembaharuan, supaya dapat bangkit kembali seperti masa jaya-jayanya dulu.
Sampai sejauh mana kebenaran dan bukti adanya
indikator-indikator kebangkitan kembali HMI, sejarahlah yang akan menentukan
kelak. Kita semua berharap dengan
penuh optimistis sesuai
dengan ajaran Islam supaya
manusia bersikap optimis, agar HMI dapat mengakhiri masa kemundurannya dan
memasuki masa kebangkitannya secara meyakinkan.
Di tangan generasi sekaranglah sebagai generasi
penerus, pelanjut, dan penyempurna perjuangan HMI. Yakin Usaha Sampai!
0 Response to "SEJARAH PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM "
Posting Komentar