Gerakan Pelajar di era Kolonialisme
(1908-1928)
Revolusi Pemikiran
Budi
Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur
pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh
pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan
refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme
Jawa yang ditampilkannya.
Pada
kongres yang pertama di Yogyakarta, tanggal
5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : ‘Kemajuan yang selaras
buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian,
peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan’.
Dalam
5 tahun permulaan Budi Oetomo sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan
bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan,
mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir
tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping
itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah
satunya Mohammad Hatta yang
saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdammendirikan Indische
Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische
Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan
diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir
untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi
ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan
Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya
Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan
propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis
demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV)
yang berhaluan Marxisme, menambah
jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi
membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU
karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya
menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya
(hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena
cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya
terpaksa terjun ke lapangan politik. Kehadiran Boedi Oetomo,Indische
Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai
munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa
sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi
1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak
kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan
mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka
berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
Kebangkitan Semangat Kebangsaan
Pelajar-Pelajar Indonesia
Kelahiran Sumpah Pemuda (1928)
Pada
pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische
Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah
air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan
melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang
dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat
itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische
Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene
Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah
Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi
oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang
menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926,
Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke
Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam
Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari
kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah,
munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober
1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di
Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
Gerakan Mahasiswa Di Era Proklamasi
(1945)
Peristiwa
Rengas dengklok
Dalam
perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan
kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda
yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik,
terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi
Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia(PBI), sedangkan
Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan
Nasional Indonesia (PNI).
Secara
umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang
jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan
melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini
ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa,
termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran
Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis,
akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih
untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para
pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam
sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng
Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya
menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah
satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok
bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa
menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan
kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa
Rengasdengklok.
Gerakan Mahasiswa Pasca Kemerdekaan
dan Meruntuhkan Rezin Orde Lama (1945-1966)
Pada
masa setelah kemerdekaan, mulai bermunculan secara bersamaan organisasi -
organisasi mahasiswa di berbagai kampus. Berawal dari munculnya organisasi
mahasiswa yang dibentuk oleh beberapa mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (STI)
di Yogyakarta, yang dimotori oleh Lafran Pane dengan mendirikan organisasi
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 14 rabiul awal 1366 H yang
nertepatan pada 05 Februari 1947.
Organisasi
ini dibentuk sebagai wadah pergerakan mahasiswa yang dilatarbelakangi oleh 4
faktor utama yang meliputi Situasi Dunia Internasional, Situasi NKRI, Kondisi
Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia, Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia
Kemahasiswaan. Selain itu pada tahun yang sama, dibentuk pulalah Perserikatan
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang didirikan melalui kongres mahasiswa
di Malang.
Lalu
pada waktu yang berikutnya didirikan juga organisasi - organisasi mahasiswa
yang lain seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berhaluan
pada ideologi Marhaenisme Soekarno, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia
(GAMSOS) yang lebih cenderung ke ideologi Sosialisme Marxist, dan Concentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang lebih berpandangan komunisme sehingga
cenderung lebih dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Sebagai
imbas daripada kemenangan PKI pada pemilu tahun 1955, organisasi CGMI cenderung
lebih menonjol dibandingkan dengan organisasi - organisasi mahasiswa lainnya.
Namun justru hal inilah yang menjadi cikal bakal perpecahan pergerakan
mahasiswa pada saat itu yang disebabkan karena adanya kecenderungan CGMI terhadap
PKI yang tentu saja dipenuhi oleh kepentingan - kepentingan politik PKI. Secara
frontal CGMI menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi - organisasi
mahasiswa lainnya terutama dengan organisasi HMI yang lebih berazazkan
Islam.
Berbagai
bentuk propaganda politik pencitraan negatif terus dibombardir oleh CGMI dan
PKI kepada HMI, beberapa bentuk propaganda yang mereka wujudkan yaitu salah
satunya melalui artikel surat kabar yang berjudul Quo Vadis HMI. Perseturuan
antara CGMI dan HMI semakin memanas ketika CGMI berhasil merebut beberapa
jabatan di organisasi PPMI dan juga GMNI, terlebih setelah diadakannya kongres
mahasiswa V tahun 1961.
Atas
beberapa serangan yang terus menerus dilakukan oleh pihak PKI dan CGMI terhadap
beberapa organisasi mahasiswa yang secara ideologi bertentangan dengan mereka,
akhirnya beberapa organisasi mahasiswa yang terdiri dari HMI, GMKI (Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia), PMKRI, PMII, Sekretariat Bersama
Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan
Pers Mahasiswa (IPMI), mereka sepakat untuk membentuk KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia). Dimana tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis
mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi
dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya
KAMI yang dimotori oleh wakil PB HMI Ma’arie Moehammad dan diikuti berbagai
aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi
Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan
lain-lain. Berawal dari semangat kolektifitas mahasiswa secara nasional
inilah perjuangan mahasiswa yang dikenal sebagai gerakan angkatan '66 inilah
yang kemudian mulai melakukan penentangan terhadap PKI dan ideologi komunisnya
yang mereka anggap sebagai bahaya laten negara dan harus segera dibasmi dari
bumi nusantara.
Namun
sayangnya, di tengah semangat idealisme mahasiswa pada saat itu ada saja godaan
datang kepada mereka yang pada akhirnya melunturkan idealisme perjuangan
mereka, dimana setelah masa orde lama berakhir, mereka yang dulunya berjuang
untuk menruntuhkan PKI mendapatkan hadiah oleh pemerintah yang sedang berkuasa
dengan disediakan kursi MPR dan DPR serta diangkat menjadi pejabat pemerintahan
oleh penguasa orde baru. Namun di tengah gelombang peruntuhan
idealime mahasiswa tersebut, ternyata ada sesosok mahasiswa yang sangat dikenal
idealimenya hingga saat ini dan sampai sekarang tetap menjadi panutan para
aktivis - aktivis mahasiswa di Indonesia, yaitu Soe Hok Gie. Ada
seuntai kalimat inspiratif yang dituturkan oleh Soe Hok Gie yang sampai
sekarang menjadi inspirasi perjuangan mahasiswa di Indonesia, secara lantang ia
mengatakan kepada kawan - kawan seperjuangannya yang telah berbelok idealimenya
dengan kalimat "lebih baik terasingkan daripada hidup dalam
kemunafikan".
Gerakan
Mahasiswa Di Rezim Orde Baru (1966-1988)
Kritik
Terhadap Kinerja Pemerintah Rezim Orde Baru
Realitas
berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika
generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi
1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum
gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an,
sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi
terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
Golput yang
menentang pelaksanaan pemilu pertama pada
masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
Gerakan
menentang pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah pada 1972 yang
menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali
dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes
lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan
pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa
Menggugat" yang dimotori Arif
Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap
kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul
aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa
kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang
diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat
merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori
pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai
Komisi Empat.
Berbagai
borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus
mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai
cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status
quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain
melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang
mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul
berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun
mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa
aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang
munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput)
pada tanggal 28 Mei 1971 yang
dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung
Nasution,Asmara Nababan.
Dalam
tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap
pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang
dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek
pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar
negeri.
Peristiwa
Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974
Protes
terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973
selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi
memprotes PM JepangKakuei Tanaka yang
datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974.
Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai
salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya
Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang
muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan
ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
Gerakan
Mahasiswa Penolakan NKK/BKK
Setelah
peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes
mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus
disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja
sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa
baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977,
barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai
masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai
dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen
anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi
dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat
lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan
nasional.
Awalnya,
pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada
tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di
berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh
mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus
karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain
adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam
melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing
keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka
diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh
dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di
seluruh Indonesia.
Soeharto
terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan
hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan
sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan
sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Gerakan
mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja
namun meluas secara nasional meliputi kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Bogor,
Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. [1] 28 Oktober 1977, delapan ribu anak
muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, "Turunkan
Suharto!". Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi.
Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram.
10
November 1977, di Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa
di ITB pada Oktober 1977, giliran
Kampus ITS Baliwerti beraksi. Dengan semangat
pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan
1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari Baliwerti menuju
Tugu Pahlawan. Sejak pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi
pusat konsentrasi gerakan di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok
membangkitkan nurani yang hilang. Kemudian disepakati pusat pertemuan nasional
pimpinan mahasiswa di Surabaya.
Sementara
di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000
mahasiswa berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju
Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami
Mengadu". Juga dengan pengawalan ketat tentara. Acara hari itu, berwarna
sajak puisi serta hentak orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat gerah.
Beberapa batalyon tempur sudah ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya.
Sepanjang jalan ditutup, mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat. Aksi mereka
dibungkam dengan cerdik. Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan agar Soeharto
turun masih menggema jelas, menggegerkan semua pihak. Banyak korban akhirnya
jatuh. Termasuk media-media nasional yang ikut mengabarkan, dibubarkan paksa.
Pimpinan
Dewan Mahasiswa (DM) ITS rutin berkontribusi pada tiap pernyataan sikap secara
nasional. Senat mahasiswa fakultas tak henti mendorong dinamisasi ini. Mereka
bergerak satu suara. Termasuk mendukung Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga
poin namun berarti. "Kembali pada Pancasila dan UUD 45, meminta
pertanggungjawaban presiden, dan bersumpah setia bersama rakyat menegakan
kebenaran dan keadilan".
Peringatan
12 tahun Tritura, 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal
sekaligus akhir. Penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi.
Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan pengekangan.
Sejak
awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung,
sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku
pemberontak negara. Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya,
ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara misterius
ditembaki orang tak dikenal.
Di
UI, panser juga masuk kampus. Wajah mereka garang, lembaga pendidikan sudah
menjadi medan perang. Kemudian hari, dua rektor kampus besar itu secara
semena-mena dicopot dari jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak
didiknya yang keras kepala. Di ITS, delapan fungsionaris DM masuk "daftar
dicari" Detasemen Polisi Militer. Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos
mereka sudah ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki,
ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membubarkan
aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa mungkin ia
melindungi anak-anaknya. Beberapa berhasil tertangkap, sisanya bergerilya dari
satu rumah ke rumah lain. Dalam proses tersebut, mahasiswa tetap
"bergerak". Selama masih ada wajah yang aman dari daftar, mereka
tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan kampus masih panas, walau Para
Rektor berusaha menutupi, intelejen masih bisa membaca jelas.
Setelah
gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa
selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan
Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed
Yusuf dilantik tahun 1979.
Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan
akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata
dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah
dalam hal ini PangkopkamtibSoedomo melakukan pembekuan atas
lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian
baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan
ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di
Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui
Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan
penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan
BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan
Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat
fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas
(BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang
kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan
mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan,
pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan
konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra
kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi
lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa,
karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik
tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi
rezim semakin kuat.
Sebagai
alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di
awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin
tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi
kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai
alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis
mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif
pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan
mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia),PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia), GMKI (Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok
Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers
mahasiswa. Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa
antara lain: kasus tanah waduk Kedung
Ombo, Kacapiring, korupsi
di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
Kasus
Helm “Siti Hardiyanti Rukmana” “1988”
Pada
tahun ini dikeluarkanlah sebuah kebijakan bagi pengendara motor untuk
menggunakan helm (pengendara dan yang dibonceng), namun kenapa kebijakan ini
justeru dikeluarkan pada saat Mbah Tutut sedang membuka usaha helm pada rezim
Soeharto.
Gerakan Mahasiswa Dalam Meruntuhkan
Rezim Orde Baru (1990-1998)
Memasuki
awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan
sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui
PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui
adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari
Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan
mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK
tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah
kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan
mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak
lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong
kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam
perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi
karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri,
bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga,
tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994
yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai
landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang
independen.
Dengan
dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis
serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan
mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan
kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan
yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan
kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga
akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi.
Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke
DPR/DPRD tetap terlarang.
Peristiwa Amarah (1996)
Berawal
dari kebijakan pemerintah dan keluarnya SK MENHUB tentang kenaikan tarif
angkutan umum yang ditindak-lanjuti dengan SK walikota Makassar no: 900 tahun
1996 tentang penyesuaian tarif angkutan kota di kota Makassar. Kebijakan itu
sangat memberatkan dan membuat semakin terpuruknya ekonomi masyarakat, maka
dari inilah muncul geliat-geliat mahasiswa Makassar dalam merespon kebijakan
pemerintah yang sangat tidak memihak masyarakat. Geliat-geliat ini akhirnya
berakibat digelarnya aksi demonstrasi besar-beasaran oleh mahasiswa Makassar.
Pada
tahun ini makassar menangis, pergerakan mahasiswa makassar dalam menolak
kebijakan walikota makassar tentang kenaikan tarif pete-pete (Angkutan Kota)
dari Rp. 300,- menjadi Rp. 500,- yang diakibatkan naiknya BBM, semua mahasiswa
makassar melakukan aksi menolak sehingga menyebabkan 3 mahasiswa Universitas
Muslim Indonesia Menjadi korban (Saiful Biya, Tasrif, Andi Sultan Iskandar)
karena kampus II UMI dimasuki Tentara yang mengendarai Panser (Reformasi
Berawali Dari Tanah Makassar).
Runtuhnya Rezim Orde Baru Menuju
Era Reformasi (21 Mei 1998)
Pada
akhirnya ditahun 1997-1998 didorong oleh keadaan politik serta krisis
ekonomi yang sedang mengalami keterpurukan akibat krisis moneter yang dialami
Indonesia membuat perekonomian terguncang hebat. Hal ini tentu saja sangat
mengejutkan masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa yang akhirnya animo
pergerakannya mulai bangkit setelah sebelumnya mengalami mati suri yang cukup
panjang. Sehingga pada akhirnya timbullah berbagai aksi demonstrasi
besar-besaran. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa pun
akhirnya semakin merebak dan meluas. Di Jakarta sendiri, ribuan mahasiswa telah
berhasil menduduki gedung MPR/DPR RI pada tanggal 19 Mei 1998. Atas berbagai
tekanan yang terjadi itulah akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00,
presiden RI pada saat itu, yaitu Soeharto resmi mengundurkan diri dan era
Reformasi pun dimulai dengan diawali oleh runtuhnya rezim Orde Baru.
0 Response to "SEJARAH PERGERARAKAN MAHASISWA DARI MASA KE MASA"
Posting Komentar