Kimung merenung sambil sesekali membaca surat
dari Santy kekasihnya. “Mas, kita tidak mungkin melanjutkan hubungan ini,
karena perbedaan kita terlalu prinsip dan tak mungkin dipersatukan. Hubungan
kita selama ini anggap saja mimpi yang indah, apa yang sudah terjadi biarlah
menjadi kenangan, aku rela kok
Mas,
aku sangat senang telah menyerahkan semuanya untukmu. Tapi Mas, kenapa kita
harus berbeda keyakinan? Ataukah Tuhan sengaja membeda-bedakan umat-Nya,
bukankah Tuhan kita sama? Ah….. tapi biarlah semua berlalu. Mas lupakan saja
aku, sebaliknya aku pun akan mencobanya walaupun sulit”. Penggalan surat Santy
berulang kali dibacanya. Kimung tak mengerti, mengapa hubungannya dengan Santy
harus berakhir dengan cepat hanya gara-gara perbedaan agama. Bukankah semua agama
bersumber dari Tuhan dan mengajarkan kebaikan, serta merupakan pedoman hidup
manusia untuk mencapai kesejahteraan. Kimung tak habis pikir kenapa justru karena
agama banyak orang bermusuhan, tak memperbolehkan membangun keluarga yang beda agama,
dan lain sebagainya yang menurut Kimung tidak pernah diajarkan dalam agama
apapun, Kimung yakin bahwa agama tidak menyuruh untuk bermusuhan antar manusia.
Cerita Kimung mungkin merupakan cerita sekian juta
orang di dunia ini, cerita kita semua. Sejak jaman dahulu manusia selalu
memiliki satu kepercayaan yang dianggapnya benar, dengan kepercayaannya itu,
seorang manusia mampu berbuat apa saja, tanpa merasa bersalah sedikitpun. Masih
teringat di kepala ketika seorang terdakwa divonis mati akibat melakukan pengeboman,
hanya tersenyum tanpa ada penyesalan sedikitpun, bahkan ia merasa senang karena
justru dengan itu ia merasa telah melakukan suatu tindakan yang benar. Itulah
hebatnya
pengaruh suatu kepercayaan. Apalagi hanya sekedar masalah pernikahan seperti
kasus Kimung, melakukan pembunuhan saja jika dilandasi oleh suatu keyakinan
bahwa itu benar, maka setiap orang dengan senang hati melakukannya, walaupun
itu jelas merusak peradaban dunia.
Kepercayaan itu biasanya diwujudkan dalam agama atau
aliran kepercayaan. Agama diyakini oleh setiap orang yang memeluknya sebagai
sumber kebenaran yang mutlak, karena ia dianggap berasal dari Tuhan, pencipta
alam semesta. Sebagai sumber kebenaran, agama diyakini akan membawa manusia
pada kedamaian dan kesejahteraan, jika dijalankan seutuhnya. Namun di sisi lain
dengan banyaknya agama yang muncul di muka bumi mengakibatkan terjadinya
permusuhan dan pertentangan yang diakibatkan oleh ajaran agama. Setiap pemeluk
agama yakin bahwa hanya agamanyalah yang benar, sedangkan agama yang lain
adalah salah. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan klaim kebenaran yang
berujung pada perselisihan. Pada fase ini menjadi pertanyaan besar tentang keberadaan
agama, masih relevankah agama untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan, sedangkan
realitasnya dengan agama justru menghancurkan peradaban dunia.
Untuk
membahas kedudukan agama dalam kehidupan manusia, agama harus didudukan secara
obyektif. Permasalahan yang biasanya terjadi yaitu adanya standar ganda
terhadap agama, maksudnya adalah pertama, seseorang akan menganggap bahwa hanya
agamanyalah yang benar, tanpa mau melihat agama yang lain, kedua, setiap agama
itu mengajarkan kebaikan dan bersumber dari Tuhan. Dengan standar itu maka agama
tidak akan pernah sejajar dan obyektif, padahal keobyektifan mutlak diperlukan
untuk mendudukan agama secara benar. Oleh karena itu untuk mendudukan agama
pada posisi sebenarnya harus dimulai dengan menghilangkan standar ganda dan
mendudukan setiap agama pada posisi yang sama.
Dengan
penilaian yang obyektif maka akan didapat jawaban mengenai relevansi agama bagi
kehidupan manusia, apakah masih diperlukan atau tidak untuk mencapai perdamaian
dan kesejahteraan umat manusia. Selain itu akan didapatkan hakekat Tuhan
menurunkan agama, atau apakah agama hanya buatan manusia untuk meninggikan eksistensi
dirinya dengan mengatasnamakan Tuhan. Terlepas dari dialektika masalah itu,
dapat diketahui ternyata setiap agama mengajarkan kebaikan. Pertentangan dan
perselisihan antar umat beragama yang terjadi bersumberkan dari pemahaman
keagamaan yang sempit, yang justru mengebiri nilai-nilai keagamaan itu sendiri.
*Nantikan Bacaan Selanjutnya...................
0 Response to "MANUSIA, TUHAN, AGAMA, DAN KEPERCAYAAN (BACAAN NDP)"
Posting Komentar