Bahan
Pendalaman NDP
Bidang Pembinaan Anggota
HmI Koorkom Unisba
Bidang Pembinaan Anggota
HmI Koorkom Unisba
29-April-2016
-Affan
Aliga-
Pintu
reformasi dan demokrasi yang ditandai dengan angin kebebasan publik—dalam
konteks Indonesia—telah menjadi catatan sejarah tersendiri yang begitu
kompleks. Di arena politik, kita merasakan kebebasan sipil-politik yang meluas,
luruhnya supermasi militer, dan bangkitnya politik sipil melalui gerakan
kesukarelawanan dan sistem multi partai. Dalam lapangan ekonomi, Negara
akhirnya harus rela berbagi peran dengan kekuatan pasar, fundamentalisme pasar
inilah yang kemudian melahirkan jarak yang menganga antara rakyat dengan
partisipasi politik.
Reformasi
harus dipahami sebagai sebuah fase proses pembangunan bangsa, negara, penataan
ulang bentuk politik, dan hidup secara bersama dan kolektif, maka reformasi
mengandaikan suatu proses munculnya berbagai aspirasi yang lebih asli yang selama
Orde Baru aspirasi masyarakat dibungkam, dengan dan atas nama ideologi bangsa,
sikap represif dan otoritarianisme dilazimkan, Negara mampu meredam dan
mengunci apa yang menjadi aspirasi minor masyarakat. Karena itu radikalisme
dalam jangka pendek selain sebagai respon terhadap reformasi tapi juga hasil
jangka panjang proses politik berbangsa.
Di
wajahnya saat ini, Indonesia telah mantap berada di jalur konsolidasi
demokrasi, tantangan terbesar yang muncul adalah masalah pembagian sumber daya
politik yang timpang. Secara ideal mestinya setiap warga Negara memiliki
kemampuan yang sama untuk menentukan kebijakan-kebijakan penting yang diambil
Negara. Secara kasat mata, kita dapat melihat seolah rakyat telah
berdaulat, namun karena kesejahteraan yang minim, rakyat menggadaikan
kedaulatannya kepada elite politik dengan cara transaksi jual beli suara pada
saat Pemilu, Pilres dan Pilkada. Itulah mengapa Hatta jauh-jauh telah
mengingatkan bahwa demokrasi di bidang politik akan berjalan dengan baik
apabila sejalan dengan demokrasi di bidang ekonomi.
Argumentasi
Politik
Selama
beberapa tahun terakhir ini kehidupan beragama di Indonesia memang sedang
memasuki periode yang mengkhawatirkan, penuh darah dan kekerasan ; intoleransi
dan eksklusivisme ; penuh semangat perang dan supermasisme. Bagaimana kita
menilai keadaan ini? Dan apa yang sebenarnya terjadi?
Sampai
sejauh ini telah banyak argument politik dikemukakan untuk menjelaskan penyebab
terjadinya eskalasi kekerasan dalam hubungan agama di Indonesia selama kurang
lebih sepuluh tahun terakhir. Skema dibawah ini menggambarkan kerangka umum
tentang penjelasan seperti itu :
(Dipetik
dari AE Priyono, “Nalar Fundamentalisme Agama Di Ruang Publik”)
Demokratisasi
telah menyebabkan Negara menjadi lemah dan kehilangan pengaruh, tidak seperti
masa orde baru. Kekuatan kontrolnya juga ikut melemah. Bahkan melalui proses
desentralisasi, kekuatan-kekuatan lokal muncul dan menghilangkan sentralisme
kekuasaan, sehingga tercipta politik polisentrisme. Bersamaan dengan itu
penetrasi modal menggila dan menyebabkan terjadinya perkawinan dengan
kekuatan-kekuatan lokal, sehingga seringkali wilayah publik didominasi
kepentingan privat. Pada saat yang sama, kekuatan-kekuatan komunal juga
menguat, dan seringkali didominasi oleh wacana-wacana sektarian berbasis agama
atau etnis, mendikte Negara untuk memihak kepentingan mereka.
Demos,
masyarakat warga Negara – dalam ketiadaan akses langsung ke Negara, atau karena
ditipu terus oleh partai politik sebagai lembaga-lembaga oligarki elite, juga
karena belum bisa membangun blok-blok independen dengan basis civic yang
kuat, akhirnya berada diantara dua pilihan ; Memilih supermasi modal
(Fundamentalisme pasar) disatu pihak atau kekuatan komunal dipihak lain
(Fundamentalisme agama).
Sebagai
akibat dari berbagai faktor, suasana politik liberal di Indonesia telah
menyebabkan munculnya banyak organisasi Islam bercorak ‘jihadis’, baik yang
benar-benar lahir dari konteks lokal maupun hanya agen dari gerakan
transnasional. Mereka dipayungi oleh MUI, setidaknya secara doktrinal, misalnya
menyangkut dogma ; Anti sekularisme, anti liberalisme, anti pluralisme.
Berwatak
sektarian, eksklusif, dan ekslusioner, mereka mengkontruksi identitas politik
mereka sebagai pembela Islam yang hadir ditengah-tengah kepungan demokrasi
liberal, sekuler. Tidak ragu memberi stempel ‘kafir’ kepada golongan lain,
menganggap diri paling benar, paling unggul, dan mampu mengatasi
segala-galanya. Celakanya, nalar seperti inilah yang diyakini para pengikutnya
sebagai solusi dari berbagai persoalan kronis kenegaraan, seperti kemiskinan,
korupsi dsb. Nalar fundamentalisme inilah yang kemudian didiktekan kepada
Negara yang sedang melemah, presiden yang peragu, polisi yang korup, kepala
daerah yang takut, dan umat Islam mainstream yang diam saja.
Dari
mana harus mulai?
Pasal
9 Anggaran Dasar menegaskan HMI berperan sebagai organisasi perjuangan. Artinya
setiap aktifitas kader dalam organisasi, adalah bagian dari upaya berjuang, dan
diarahkan kepada tujuan yang sama. Dasar dan orientasi perjuangan ini kadang
disebut orang sebagai ideologi. Suatu upaya perjuangan tanpa acuan ideologis,
akan jatuh menjadi aktifitas basa-basi, rutinitas yang hilang makna Hingga saat
ini tercatat 13 dokumen yang pernah menjadi doktrin perjuangan HMI; (1) Mission
HMI tahun 1947; (2) Tafsir Asas tahun 1957; (3) Kepribadian HMI tahun 1963; (4)
Garis-garis Pokok Perjuangan tahun 1966; (5) Nilai-nilai Dasar Perjuangan tahun
1969; (6) Gambaran Insan Cita HMI tahun 1969; (7) Tafsir Tujuan HMI tahun 1971;
(8) Tafsir Independensi tahun 1971; (9) Nilai Identitas Kader tahun 1986; (10)
Memori Penjelasan Pancasila Sebagai Dasar Organisasi HMI tahun 1986; (11)
Memori Penjelasan Islam Sebagai Asas HMI tahun 1999; (12) NDP Baru tahun 2006,
dianulir oleh PB HMI tahun 2009; (13) Basic Demand Indonesia (BDI) tahun 2013.
Pergulatan
wacana yang berkaitan dengan upaya menggeser orientasi pemikiran keislaman
Indonesia inilah yang coba disuntikkan oleh Nurcholish ke dalam naskah NDP HMI
yang disahkan oleh Kongres HMI ke-9 di Malang, tahun 1969. Melalui NDP,
Nurcholish sesungguhnya ingin menekankan pada upaya penafsiran kembali atas
teks-teks primer keislaman, dengan spirit pembacaan yang baru, yaitu yang
terbuka dan membawa kemajuan bagi masyarakat muslim di Indonesia.
Problem
dasar keagamaan kita adalah lemahnya penghayatan terhadap nilai-nilai di
dalamnya. Kehidupan keagamaan didasarkan pada teks-teks yang diwariskan dan
dirawat dalam bentuk tradisi. Padahal tradisi selalu memiliki kecenderungan
untuk menjadi suatu bentuk yang beku, konservatif, dan anti-kritik. Dalam hal
ini, praktek-praktek dan lembaga-lembaga keagamaan, bekerja berdasar otoritas
yang seakan sudah mutlak benar. Hal ini menyebabkan kedangkalan dalam hal
keagamaan, sehingga spirit dasar agama untuk membebaskan manusia dari kegelapan
pegetahuan (jahiliyyah), dan membawanya kepada cahaya Tuhan dan keselamatan,
tak menemukan relevansi. Padahal agama diterima dan dianut, bukan hanya karena
ia adalah warisan tradisi orang tua, tetapi karena ia terutama, merupakan
kebenaran bagi hidup manusia.
Al-Quran
menyebut agama dengan beberapa term, yaitu din, shirath, syari‘ah,
sabil, manhaj, dan mansak. Kesemuanya berarti jalan. Al-Quran tidak
mengajarkan untuk mengetahui Tuhan, tetapi mendekati Tuhan atau taqarrub ilallah:
selalu berusaha mendekat kepada Tuhan, dalam pengertian yang dinamis dan selalu
bergerak. Hampir tidak ditemukan ayat Al-Quran yang membicarakan wujud Tuhan.
Ini disebabkan karena wujud-Nya sedemikian jelas, dan "terasa"
sehingga tidak perlu dijelaskan. Al-Quran mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan
ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fithrah manusia
sejak asal kejadiannya.
Islam
adalah agama yang membawa pesan dasar (risalah asasiyah) bagi hidup manusia,
yang pada pokoknya meliputi perjanjian dengan Allah (‘ahd, ‘aqd, mitsaq),
sikap pasrah kepada-Nya (islam), dan kesadaran akan kehadiran-Nya dalam
hidup(taqwa). Tiga pesan dasar agama ini, begitu mendasarnya dan karena itu
bersifat universal dan berlaku untuk semua umat manusia, dan tidak terbatasi
oleh pelembagaan formal agama-agama atau ajaran nabi dan rasul tertentu, bahkan
meliputi seluruh alam raya ciptaan-Nya.”
Sedangkan
inti ajaran Islam adalah tauhid, yang berarti mengesakan. Tauhid tidak
hanya berarti percaya kepada Tuhan saja, karena percaya kepada Tuhan masih
mengandung kemungkinan percaya kepada yang lain-lain sebagai serikat Tuhan,
dalam keilahian. Dan inilah problem manusia sepanjang masa: percaya kepada
Tuhan atau Allah, namun tidak murni (syirk). Dan justru karena syirk adalah
problema utama manusia, maka program pokok Islam adalah membebaskan manusia
dari belenggu paham Tuhan banyak itu. Pembebasan itu diajarkan melalui
sikap al-nafyu wa al-itsbat (negasi-afirmasi) yaitu kalimat Laa
Ilaha Illa Allah “Tidak ada Tuhan selain Allah—Tuhan itu”. Kalimat
ini dimulai dengan proses pembebasan dari belenggu kepercayaan kepada hal-hal
yang palsu, dan diakhiri dengan peneguhan bahwa manusia harus mempunyai
kepercayaan kepada sesuatu yang benar.
Pembebasan
dari belenggu tersebut, diikuti dengan sikap kepasrahan kepada Tuhan sebagai
Kebenaran Mutlak. Sikap pasrah itu disebut al-islam, yangmerupakan
inti semua agama yang benar. Al-islam atau sikap pasrah kepada Tuhan
itu, menjadi pangkal adanya hidayah Tuhan kepada seseorang. Al-islam sekaligus
menjadi landasan universal kehidupan manusia yang berlaku untuk setiap orang,
di setiap semesta dan zaman. Dengan pengertian tersebut, semua agama yang benar
pasti bersifat al-islam (karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan).
Hingga al-islam tersebut menjadi konsep kesatuan kenabian (the unity
of prophecy), kesatuan kemanusiaan (the unity of humanity), keduanya merupakan
kelanjutan dari konsep ke-Maha-Esa-an Tuhan (the unity of God/tauhid).
Di
samping sebagai dasar dari agama, sikap pasrah kepada Tuhan itu juga merupakan
hakikat dari seluruh alam, yaitu sikap pasrah pihak ciptaan kepada
Pencipta-Nya. Ketaatan langit dan bumi kepada Tuhan adalah sebuah kepasrahan
-ke-islam-annya. Inilah yang sering ditekankan dalam wacana Islam, sebagai
dasar adanya keteraturan dan predictability pada hukum alam. Tetapi
manusia berbeda dengan alam disebabkan adanya sesuatu yang sangat istimewa pada
manusia, yaitu sesuatu yang berasal dari Ruh Tuhan.
Sikap taqwa adalah
kelanjutan dari fitrah manusia yaitu “kesadaran ketuhanan” (God
consciousness), yaitu kesadaran tentang adanya Tuhan Yang Maha hadir dalam
hidup manusia. Kesadaran seperti itu membuat manusia mengetahui dan meyakini
dalam hidup ini tidak ada jalan menghindar dari Tuhan dan pengawasan-Nya.
Kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup ini mendorong manusia untuk menempuh
hidup mengikuti garis-garis yang diridlai-Nya, sesuai dengan ketentuan-Nya.
Dalam
NDP, fitrah yaitu kesadaran yang memandu manusia untuk senantiasa menuju
kebaikan, keindahan dan kebenaran yang tak terhingga (Tuhan Yang Maha Esa).
Dalam dimensi intelektual, dia senantiasa terbuka, berpengalaman luas, berpikir
bebas, dan kritis konstruktif, dengan segala perubahan yang relevan dengan
perkembangan kemanusiaan. Keseluruhan kerja hidupnya (jasmani & rohani)
dimanifestasikan untuk mencari keindahan, kebaikan dan kebenaran. Dia tidak
pernah ragu mengikuti kebenaran tanpa memandang dari mana datangnya sehingga
kaya akan kebijaksanaan (hikmah/wisdom).
Pada
dimensi sosiologis, dia mampu mendudukkan aspek ruhani di atas aspek fisiknya
secara harmonis mengingat keduanya bukanlah dua kenyataan yang terpisah dan
bersifat kebendaan. kemuliaan akhirat hanyalah efek dari kerja (amal)
didunia, seluruh amalnya harus berdasar pada Tuhan (kecenderungan yang murni,
yang disebut Ikhlas), bukan untuk memperoleh tujuan yang lain (pamrih).
Pada
dimensi psikologis, fitrah ini akan membentuk kepribadian merdeka, rendah
hati, toleran, dan pemaaf. Pandangan manusia muslim ini memungkinkan untuk
terciptanya manusia ideal (insan kamil), yang menjadi wakil tuhan di muka
bumi (Khalifatullah), yang seluruh aktivitasnya tiada lain merupakan
prilaku (akhlaq) Tuhan. Manusia inilah yang dapat menjadi manusia
yang menjadi Rahmatanlilalamin (Rahmat Bagi Seluruh Alam).
YAKIN
USAHA SAMPAI!
0 Response to "KEISLAMAN YANG INKLUSIF ; UPAYA MERETAS RADIKALISME"
Posting Komentar