PERAN KADER HMI DALAM MEWUJUDKAN KEBANGKITAN NASIONAL

Jalaluddin rahmat memberikan defenisi kebangkitan bahwa kebangkitan itu diukur sejauh mana kita berhasilkan mengaktualkan potensi kita. Kebangkitan itu bukanlah tumbuhnya kesadaran beragama yang lebih tuntas atau tampaknya syiar-syiar agama yang bersifat ritual atau memperoleh kekuasaan politik atau ekonomi. (Jalaluddin Rahmat, 1991; 303)
HMI adalah organisasi besar, organisasi tertua di Indonesia, kaya pengalaman, pencetak para raksasa intelektual, banyak anggota dan alumni dan sebagainya. pandangan-pandangan semacam ini seharusnya senantiasa dikritisi jikalau tidak menghendakinya menjadi sekedar mitos. Mitos berarti suatu bentuk kepercayaan berlebihan tetapi kosong tanpa isi. Hal itu hendaknya dimaknai bersama oleh seluruh kader yang mengaku HMI sebagai upaya agar HMI dapat merenungkan kembali arah dan orientasinya dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer dewasa ini.
Untuk itu, HMI harus terlebih dahulu mengetahui dimana posisinya saat ini. Bahwa tanpa menyadari posisi HMI sekarang lewat refleksi sosiologis historis maka HMI hanya akan mengalami kegagalan dalam melihat kenyataan yang ada. HMI harus mampu mendeskripsikan lagi perjalanan organisasinya untuk dapat meningkatkan keunggulan komparatif sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya sekaligus eksis di tengah-tengah gerakan-gerakan sosial masyarakat yang sangat akseleratif. HMI telah dihujani berbagai macam kritikan mengenai sejauhmana peran eksistensinya saat ini di tengah zaman yang terus bergulir. Kritikan itu setidaknya penulis maknai bermuara pada tiga hal, pertama, macetnya proses reproduksi intelektual, kedua, menurunnya kritisisme (sosial responsibility) dan ketiga, terjadinya krisis nilai (Islam) dalam praktek empirik beroganisasi HMI. Oleh karena itu, dalam konteks ini HMI harus berupaya keras untuk merebut kembali tradisi intelektualisme sebagaimana telah diawali oleh Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Djohan Effendy, dkk sebagai sesuatu yang fadhu dengan menggerakkan proses reproduksi intelektual berupa para kader dan pengurusnya harus berprestasi di kampus dengan studi tepat waktu dan menghidupkan kembali kajian-kajian ilmiah, kemudian dengan modal intelektual tersebut kader HMI harus mampu mengambil peran populis di tengah-tengah dinamika kehidupan kemahasiswaan yang selama ini seakan hilang kekritisannya juga berperan dalam perubahan masyarakat dengan senantiasa memberikan manfaat serta berupaya memberikan kontribusi positif bagi memecahkan problematika keumatan yang ada.
Kader-kader HMI dituntut untuk memiliki pendidikan setinggi-tingginya, berwawasan luas, berpikir rasional, kritis dan objektif sekaligus bertanggung jawab atas terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Sehingga HMI tidak hanya sekedar \"tidur\" dan bersemedi di kantor-kantornya akan tetapi HMI bersama rakyat membangun peradaban yang kuat. Selanjutnya, para kader HMI harus senantiasa menginternalisasi dan mengoperasionalisasi spirit nilai ajaran Islam dalam segenap praktek berorganisasinya
Menyaksikan kondisi ini, mau tidak mau HMI sebagai bagian dari anak Bangsa dituntut untuk membuktikan komitmennya terhadap perjuangan Ummat dan Bangsa, komitmennya terhadap perwujudan tatanan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Karena itu, Bangsa ini membutuhkan pembaharuan, pembaharuan kebijakan agar bangsa ini dapat keluar dari situasi keterbelakangan dan keterjajahan yang kita alami hari ini. HMI sebagai bagian integral dari umat pada umumnya dan gerakan mahasiswa khususnya, dituntut untuk melakukan upaya pemberdayaan sumber daya umat sebagai implementasi dari komitmen moral dan intelektualnya. Komitmen semacam itu merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan yang demikian dahsyat. Untuk menyikapi dan menghadapinya, mensyaratkan adanya kader dengan citra diri paripurna, komitmen dan integritas yang mantap, sikap yang tegas, kemampuan intelektual, skill manajerial yang profesional, dan kepemimpinan yang tanggguh.
Perjuangan ini tentu saja perjuangan panjang dan membutuhkan manusia-manusia tangguh dan terorganisir rapih demi keberhasilan perjuangan. Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Disinilah letak pentingnya HMI sebagai organisasi perjuangan dan organisasi kader agar perjuangan kita berkelanjutan dan terorganisir baik sehingga targetnya dapat tercapai. Namun HMI bukanlah organisasi tanpa belitan masalah, berbagai persoalan internal dan eksternal turut membingkai dalam dinamika HMI. Karena itu perlu adanya rancangan kerangka gerak lanjutan untuk melakukan perubahan, pembaharuan dan pergerakan-perjuangan di HMI.
Kebutuhan saat ini adalah secara objektif, umat ini terbagi dalam kelas-kelas sosial dan kelas-kelas sosial itu mempunyai kepentingan fungsional masing-masing. Jadi kalau kita sudah berpikir untuk memulai gerakan poitik ekonomi atau katakanlah berpartisipasi dalam demokrasi, maka harus mulai menyadari bahwa kelompok-kelompom sosial mempunyai kepentingan real dan kita harus mengartikilasikan kepentingan mereka. Jangan hanya berpikiran subjektif-normatif tetapi harus mampu melihat secra objektif-empiris. (Kuntowijoyo, 1994; 203).
Donny Sofyan dalan artikelnya yang berjudul Perkembangan Gerakan-Organisasi Mahasiswa, Agenda ke Depan dan Parameter Ukuran Keberhasilan memberikan sebuah brainstorming, dan mencoba menyumbangkansedikit gagasannya.
Pertama, sebagai faktor perekat bangsa guna mencegah kecenderungan disintegrasi dengan bekal “moral force” yang dimilikinya. Sebagai anasir fundamental dalam meneguhkan integritas bangsa. Dengan mengadopsi gagasan Dr. Marwah Daud Ibrahim, upaya ini dapat ditempuh dengan konsep SAKTI: Sinerji, bahwa tiap-tiap penggerak perubahan mesti merasa bahwa apa yang dilakukannya akan berlipat ganda hasilnya karena adanya integrasi dengan pihak lain; Akumulasi, bahwa betapapun kecilnya gerakan harus dihargai sebagai proses penyempurnaan perubahan itu sendiri; Konvergensi, bahwa meskipun berangkat pada muara yang berbeda tapi tetap bergerak menuju tujuan yang sama yaitu perubahan; Totalitas, bahwa sasaran gerakan hendaklah multidimensional; dan Inklusivitas, yakni adanya keinginan untuk melihat bahwa inisiator gerakan sebagai bagian dari kita, terlepas dari manapun oasisnya.
Kedua, membangun basis dan tradisi intektualitas. Perubahan dan rekayasa sosial (social engineering) mustahil tegak tanpa kokohnya basis dan tradisi intelektualitas. Ketika mahasiswa mengembangkan pemikirannya mereka tidak lantas merebut kavling dosen mereka. Perbedaan mendasar di antara keduanya adalah bahwa dosen semakin tidak berani menembus frontier (tapal batas) cara berpikirnya sendiri ketika otak semakin dijejali oleh banyak pengetahuan dan teori serta banyaknya kepentingan-kepentingan pribadi yang harus diamankan. Dosen cenderung menjadi peragu. Ditambah lagi kebiasaan berpikir disipliner yang dengan ketat membatasi bidang persoalan dan perhatiannya. Kecuali jika ia adalah sejatinya intelektual dan atau pernah menjadi mahasiswa aktivis. Ada baiknya kita kaji lebih dalam uraian Jalal menyangkut definisi intelektual:
Tetapi James Mc. Gregor Burns, ketika bercerita tentang intellectual leadership sebagai transforming leadership berkata bahwa intelektual adalah a devotee of ideas, knowledge, values. Intelektual ialah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. “Dalam definisi ini, orang yang menggarap hanya gagasan-gagasan analitis adalah seorang teoritisi, orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralis, orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya adalah seorang intelektual” kata Burns. Jadi, intelektual adalah orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan analitis dan normatif. Di dalam bahasa Inggris, kata intelektual dikenakan kepada sejenis pribadi tersendiri yang telah mengalami kecerdasan dan kehalusan budi lewat pendidikan budaya. Orang boleh tinggi tingkat kesarjanaan dan sangat ahli di dalam lapangan pekerjaanya, tetapi selama ia tuidak punya minat atau kepekaan kepada rangsanganangsanganudaya, ia belum berhak dinamakan intelektual. “Di dalam masyarakat berbahasa Inggris, orang akan tercengang mendengar sebutan intellectual ditujukan kepada orang yang tidak menaruh perhatian kepada perkembangan budaya bangsanya” tulis sastrawan Subagio Sastrawardoyo. (Jalaluddin Rahmat, 1991; 303)
Bila kita tarik benang merah definisi-definisi di atas maka seorang ilmuan yang tidak pernah menarik perhatian kepada perkembangan masyarakatnya; hanya sibuk dengan tugasnya di kampus sebagai pengajar, peneliti dan petugas administratif; tidak terpanggil untuk menyebarkan dan menenangkan nilai-nilai luhur dalam setiap napas kampus; tidak tergerak mengadakan perubahan dalam kemandegan dalam tradisi intelektual masyarakat kampusnya; mereka yang hanya menjejali mahasiswanya dengan teori-teori yang positivistik, bebas nilai (free values) dan tak pernah memberikan catatan-catatan kaki terhadap pengetahuan yang tidak manusiawi dan jahat semisal kapitalisme dan developmentalisme; tidak pantas disebut sebagai intelektual. Karena itulah dosen tidak pernah menjadi kekuatan pendobrak (revolver) bila dibandingkan dengan mahasiswa yang seringkali mereka lecehkan di ruang kuliah.
Gerakan mahasiswa perlu mengaristeki kelahiran kembali tradisi ilmiah yang senantiasa bersikap mempertanyakan, memperdebatkan, mendiskusikan, dan meragukan demi menghampiri lapangan raksasa kebenaran. Namun, yang hadir nyatanya prilaku batin anti tradisi akademis yang berurat berakar, sikap para dosen dan guru besar yang anti didebat, tampilan muka merah di waktu diragukan pernyataannya, atau eksekusi dendam kepada mahasiswa yang kelewat kritis. Satu-satunya tradisi yang ditegakkan adalah tradisi menghapal, jangan membantah, jangan bertanya dan jangan menggugat.
Ketiga, memperluas wawasan makro menyangkut pelbagai persolan inti kenegaraan. Ini dapat dilakukan dengan memperluas pengetahuan teoritis kalangan gerakan mahasiswa dalam bidang ekonomi, bisnis, politik, dan keamanan. Tapi, pengetahuan teoritis ini harus disempurnakan dengan informasi yang luas dalam bidang-bidang tersebut, baik melalui sumber primer, seperti pelaku langsung, atau sumber sekunder, semisal media massa. Ini mengharuskan kalangan gerakan mahasiswa memiliki jaringan informasi dan komunikasi yang luas, mengharuskan mereka membaca lebih banyak, dan bergaul lebih luas.
Keempat, meningkatkan lebih lanjut keterlibatan bukan hanya dalam dunia politik-keamanan, tapi juga keagamaan, ekonomi, atau pendidikan. Keterlibatan ini dapat dilakukan di tingkat wacana publik, asistensi kepada pemerintah untuk pengambil keputusan atau perumus kebijakan publik lewat lembaga think tank, maupun sebagai pelaku langsung. Jadi tidak sekadar monolitik, yang selama ini kerap menjadi mascot gerakan mahasiswa, termasuk gerakan mahasiswa sendiri. Kita tidak mendengar, misalnya, mahasiswa berdemonstrasi karena perpustakaan-perpustakaan kampus mereka yang kekurangan buku, atau karena kualitas para pengajarnya yang buruk. Calon-calon intelektual itu tidak pernah merasa gundah dengan peringkat pendidikan kita yang dari tahun ke tahun—menurut beberapa survei internasional—terus terperosok ke bawah.
Kelima, meningkatkan kemampuan gerakan mahasiswa dalam mempengaruhi pihak lain. Dunia politik praktis adalah dunia jaringan, kerja sama, aliansi, dan koalisi. Jangan pernah membayangkan bahwa gerakan mahasiswa bakal mengelola dan melakukan apapun sendiri. gerakan mahasiswa hanya menjadi bagian dari sebuah koalisi besar dalam melakukan mega proyek perubahan. Jadi, yang perlu dilakukan ke depan adalah mengembangkan kemampuan mempengaruhi pihak lain, memperkuat jaringan lobi ke kalangan politisi, pengusaha, media massa, dan militer, serta membangun akses yang kuat ke para pengambil keputusan dan penentu kebijakan.
Keenam, memperbanyak figur publik ke dalam berbagai bidang. Para peminat, pengamat, atau aktor dalam berbagai bidang harus dimunculkan. Artinya, harus ada spesialisasi di kalangan gerakan mahasiswa. Sejumlah orang yang mempunyai kelebihan intelektual yang lebih besar dapat diplot menjadi generalis yang bisa terlibat secara ilmiah dalam banyak bidang. Tapi, sebagian besar anggota gerakan mahasiswa punya satu spesialisasi yang dengan itu mereka dikenal masyarakat.
Dalam pasal 9 AD ART HMI tentang peran HMI secara jelas disebutkan bahwa HMI bereperan sebagai organisasi perjuanagan.Dalam konteks ini, HMI sekarang harus berupaya keras merebut kembali tradisi intelektual yang pernah dimilikinya pada era 1960-an hingga awal 1970-an. Prinsip kembali ke kampus (back to campus) harus dipupuk melalui berbagai format aktivitas kemahasiswaan. Dalam hal ini orientasi kualitas harus dikedepankan daripada kuantitas.
Keberhasilan dalam perumusan kembali atau reorientasi tujuan jangka panjang organisasi HMI dapat terwujud jika HMI memiliki kemampuan dalam memahami, menguasai, dan mengarahkan potensi kekuatan yang selama ini pernah dimiliki HMI, yakni konsistensi-integralitas wawasan keislaman-kebangsaan, tradisi intelektual, dan independensinya. (Sidratahta Muchtar, 2006; 83)
Ciri gerakan intelektual yang dikembangkan HMI adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan, kejujuran dan keadilan, serta penghargaan atas perbedaan pendapat. Sehingga atas dasar itulah, sejak HMI dilahirkan di tanah air tercinta ini, sikap kritisnya terhadap persoalan kebangsaan, kemahasiswaan dan keislaman, menyatu dalam aktivitasnya sebagai komunitas intelektual (intelectual community). Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual ini setidaknya juga tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang bertujuan, menjadikan kader (Islam) sebagai insan akademis dan pengabdi yang mendorong cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridho Allah SWT.
Tradisi intelektualitas HMI sudah dibuktikan lewat sejarahnya. Dalam lintasan sejarah pendirian HMI yang dipelopori oleh Lafran Pane (alm), diwarnai pro dan kontra. Sebagian kalangan berpendapat, pendirian HMI dituduh sebagai pemecah-belah mahasiswa, seperti dilontarkan oleh Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebuah organisasi yang berdiri pada tahun 1946. Reaksi ini muncul karena PMY berbeda ideologis, yaitu berhaluan komunisme, sedangkan HMI, berhaluan Islam. Bahkan, setelah HMI berdiri (lebih kurang 14 bulan) reaksi yang sama juga dilontarkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang didirikan di Jakarta pada 2 Oktober 1945, dan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri di Yogyakarta 4 Mei 1947, yang menyatakan tak perlu mendirikan organisasi kemahasiswaan secara khusus, karena memecah belah mahasiswa.
Menghadapi reaksi tersebut, HMI melancarkan gerakan intelektual dengan mendatangkan penceramah untuk mendiskusikan tentang perlunya gagasan meningkatkan kesadaran ideologi, politik dan organisasi mahasiswa Islam. Tokoh yang diundang antara lain, Ismail Banda MA, Mr Ali Sastroamidjojo dan dosen-dosen Sekolah Tinggi Islam (embrio UII). Dari ceramah-ceramah tersebut, hasilnya disebarkan di kalangan mahasiswa dan masyarakat sehingga kemudian HMI dengan cepat populer di nusantara. Selanjutnya HMI pun mengembangkan sayapnya ke berbagai universitas, perguruan tinggi dan akademisi di seluruh nusantar.a Dalam perjalanannya pun, HMI terus-menerus mengembangkan sikap-sikap intelektualnya secara independen.
Tradisi perbedaan pendapat di kalangan HMI tentulah tak dapat dipisahkan dari pesan-pesan nilai-nilai ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebagai pedoman dan tuntunan. Pedoman dalam perbedaan pendapat begitu sempurna dilukiskan al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Sebagaimana pesan Allah SWT dalam Surat An-Nahl ayat 125 bahwa , “ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (tegas dan benar) dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka (berdialog) dengan cara yang baik.” Seperti yang dilakukan HMI, dalam konteks perbedaan pendapat dengan pemimpin sekalipun, Al-Qur’an begitu indah memberi pesannya, “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan pemimpin (ulil amri) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS .An-nisa: 59).
Nabi Muhammad SAW pun memberikan teladan, bahwa perbedaan pendapat di tengah umat adalah sesuatu rahmat (ikhtilaful ummati rahmatun). Maka, dalam konteks ini, HMI yang sejak awal lahir sebagai gerakan intelektual dan memiliki sejarah yang panjang, dalam konteks perkembangan keilmuan saat ini, penting kiranya untuk meluruskan kembali gerakan intelektual yang pernah digariskan. Ini penting untuk diperhatikan menyangkut orientasi gerakan HMI yang dibangun bukan pada kepentingan pragmatis tetapi lebih memperhatikan masa depan bangsa dan negara. Sehingga revitalisasi gerakan menyangkut berbagai hal: sosial, politik, ekonomi, budaya, agama dan berbagai aspek lain, menjadi sebagai satu referensi untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan kebijakan publik dan politik di sentra-sentra pemerintahan.
Untuk mencapai tujuan besar yang dicita-citakan organisasi HMI, barangkali perlu dikaji kembali lebih jauh kemungkinan HMI dapat memosisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan nonformal, tempat menempa anggotanya menjadi insan akademis yang berkualitas di tengah umat dan bangsanya.
Dengan demikian, program kegiatan HMI tidak lagi masif, yang penuh dengan seremonial. Sebab, posisinya akan menjadi inner power atau kekuatan intelektual umat Islam. Dengan kata lain, HMI akan menjadi semacam pusat unggulan (center of excellence) dan bukan hanya merupakan centerpiece (perhiasan di tengah meja).
Dengan orientasi keislaman dan kekuatan intelektual, maka secara operatif akan lahir kader HMI yang dinamis, terbuka, dan demokratis, serta hanya tunduk pada kebenaran dari mana pun datangnya. Di sisi lain, semangat untuk mengimplementasikan fungsi kekhalifahan mengharuskan HMI bersifat inklusif dengan tetap mempertegas independensi organisasi.
Independensi HMI yang selama ini telah teruji keberadaannya dan semboyan juangnya sebagai "pemersatu umat dan bangsa" jangan sampai kendur. Artinya, meski harus menyatu dan menjadi salah satu faktor dalam membangun dinamika umat dan bangsa, jati diri dan wawasan keumatan serta kebangsaannya tidak larut dan terseret ke dalam "sektarianisme" baru.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERAN KADER HMI DALAM MEWUJUDKAN KEBANGKITAN NASIONAL"

Posting Komentar